Kamis, 17 Desember 2009

PENELUSURAN LASKAR MATARAM YANG TERCECER DI LEMBAH MERBABU, KAB. MAGELANG – JAWA TENGAH (Sebuah studi fakta historis & mistis)




PENDAHULUAN

LEMBAH MERBABU : Untuk membatasi cakupan dikusi, saya ingin memilah antara wilayah Lereng Merbabu dengan Lembah Merbabu.

Identifikasi wilayah Lereng Merbabu dan Lembah Merbabu secara subjektif ditelusuri berdasarkan “sosiolinguistik”1) yang terkait dengan bahasa, fenomena masyarakat yang terkait dengan antropologi sistem kerabat yang menempati wilayah geografi dan memiliki psykologi sosial yang unik, (Alwasiah, A Chaedar. 1985).

Mayarakat setempat lebih memahami istilah “padesan nggunung atau tegalan” kepada masyarakat Lereng Merbabu dan “padesan loh atau persawahan” kepada masyarakat Lembah Merbabu. Kedua wilayah tersebut diatas berada di dalam wilayah Kec. Sawangan dan sebagian Kec. Candimulyo.

Wilayah Lereng Merbabu meliputi wilayah Desa-desa Kapuan, Ketep, Wonolelo, Banyuroto, Soronalan, Jati, Soronalan dan Podosoko (sebagian) sedangkan Lembah Merbabu meliputi Desa-desa Gondowangi, Tirtosari, Mangunsari, Butuh, Sawangan, Podosoka (sebagian) dan Krogowanan. Masyarakat Lereng Merbabu memiliki dialek dengan intonasi khas pegunungan yang tidak dijumpai dalam dialek Jawa umumnya. Bisa jadi masyarakat Lereng Merbabu adalah masyarakat asli setempat yang sebagian besar masih mempertahankan adat kejawen berbau Hinduisme yang sesekali terlihat masih melakukan persembahan/sesaji di tempat-tempat keramat mis : mata air, pohon-pohon besar, pancuran pemandian, dll. Sedangkan masyarakat Lembah Merbabu mempunyai dialek yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan dan cenderung cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Masyarakat disini kemungkinan besar pendatang dari luar daerah dan mendekati karakter “sub-urban”, karena interaksi dan akses dengan kehidupan masyarakat perkotaan sangat mudah mencair.

_______________________1)
“Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubungan erat dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan terkait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.


Saat ini tercatat sarjana yang bekerja sebagai Pejabat Lembaga Pemerintahan, Lembaga Swasta dan Tokoh Masyarakat yang berasal dari wilayah Lembah Merbabu dan bekerja baik di Kota Magelang maupun Kota-kota besar yang tersebar di pelosok negeri ini jumlahnya cukup banyak. Perhitungan kasar tahun 2007 tercatat jumlah lulusan sarjana dan sarjana muda dari Lembah Merbabu mencapai 300 orang, belum terhitung sarjana yang dihasilkan dari Penduduk setempat yang sudah lama bermukim di kota dan hanya sesekali saja pulang ke tanah kelahirannya. Untuk Dukuh Margowangsan-Bendan-Mudal saja, dari 90 KK jumlah sarjana dan sarjana muda mencapai 50 orang.

Jika ditarik ke belakang, ternyata keberhasilan putera-puteri Lembah Merbabu masa sekarang tidak terlepas dari perjuangan para pendahulu melawan Penjajah, bahkan jika ditarik ke belakang lagi pada kehidupan sebelum kemerdekan, tokoh-tokoh masyarakat saat itu terlibat langsung gejolak politik Tanah Jawa dalam hal ini Kerajaan Mataram (1750 -1800 M) dan berlanjut sampai pada kontirbusinya dalam Perang Diponegoro (1825 -1830).


Situs Medan Peperangan

Nama-nama Pedukuhan “desa” di Lembah Merbabu bermakna saling terkait satu sama lain yang menggambarkan area peperangan. Beberapa pedukuhan menunjukkan adanya Legenda Masyarakat tentang peristiwa jaman pra-sejarah.

Pedukuhan Ngaglik, dari asal kata aglik berarti lokasi berada di ketinggian tempat pengintaian musuh. Sawangan, dari kata se-sawang berarti lokasi ketinggian untuk menerawang musuh dari kejauhan. Nepen dari asal kata nenepi-an berarti lokasi tempat bersamadi, dll. Ngentak adalah lokasi upacara yang relaitif luas (jw : ngentak-entak). Plalangan berarti pe-lalang-an, semacam portal lokasi terdepan sebelum orang dari diluar masuk lokasi, dll.

Adapun nama pedukuhan yang tidak menunjukkan medan peperangan tetapi merupakan petunjuk pedukuhan tua adanya Legenda Rakyat adalah Margowangsan dan Kebukuning, margowngsan dari asal kata margowongso yang berarti jalan ular atau ular di jalan. Konon Kyai Margowongso sudah ada sejak pedukuhan itu berdiri dan sering menampakkan diri sebagai Ular Naga yang melintang jembatan S. Krasak dengan ujung ekor di sebelah utara sungai dan kepalanya di sebelah selatan sungai. Penampakan masih sering terjadi hingga akhir-akhir ini.

Pedukuhan Kebokuning konon diceriterakan sebagai Kerbau berkulit kuning yang datang “neko” ke lokasi tanpa diketahui asalnya dari mana dan pergi menghilang entah kemana. Lokasi tempat hidupnya Kyai Kebokuning dengan Kyai Margowongso berdekatan. Kebokuning menampakkan diri sebagaimana binatang piaraan manusia, sedangkan Kyai Margowongso hanya memperlihatkan diri pada saat-saat tertentu saja. Legenda kedua makhluk aneh ini akan dikupas lebih jauh pada tulisan tersendiri.

Pada jaman perjuangan mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi, masyarakat Lembah Merbabu yang terkenal memiliki kemampuan daya juang kekuatan fisik/kesaktian yang luar biasa. Wilayah Lembah Merbabu sering menjadi target tembakan meriam dari Kota Magelang yang jarak lurusnya dari Kota Magelang sekitar 10 Km. Belanda dari Markasnya di Kota Magelang sering melakukan operasi militer ke wilayah Lembah Merbabu, oleh karena sudah diketahui Gerilyawan-gerilyawan tangguh datang dari daerah ini. Tidak sedikit pejuang yang tertangkap dan gugur di medan perang dan diabadikan dalam bentuk Monumen di Pinggir S. Mangu, Desa Tirtosari Kec. Sawangan, Kab. Magelang.

Setelah penjajahan beralih ke Jepang pun para Pejuang Lembah Merbabu sering melancarkan gerilya ke Pusat Pemerintahan Kota Magelang. Banyak pejuang yang gugur bahkan ada beberapa pejuang yang dibawa tentara Jepang ke Burma dan Thailand untuk membantu membuat “rel kereta” dalam rangka mengejar ambisi Jepang membentuk kekuasaan “Dai Nippon” atau Asia Timur Raya.


Situs Peninggalan Laskar Mataram

Jika ditarik ke belakang jauh sebelum perang kemerdekaan, para sesepuh menceriterakan secara turun-temurun, bahwa Sunan Kalijogo (± 1500 M) dalam perjalanan dakwah dari Pesisir Utara menuju pedalaman P. Jawa pernah singgah di Pedukuhan Margowangsan dan membangun mesjid pertama kali di daerah Lembah Merbabu. Konon “mustaka/puncak Mesjid dan kentongan” dibuat sendiri oleh Sunan Kalijogo. Mesjid yang ada sekarang sudah hasil pemugaran beberapa kali, namun wibawa mistis dan keangkeran lingkungan mesjid masih terasa hingga sekarang.

Berlanjut pada sejarah menjelang jatuhnya kedaulatan Mataram dari tangan Belanda, para tokoh Lembah Merbabu masih terkait dengan peristiwa politik di Tanah Jawa pada masa Kerajaan Mataram Islam, pasca pemerintahan Sultan Agung 1643 M, sebelum Mataram terpecah menjadi Mataram Karosuro dan Mataram Yogyakarta. Kerajaan Mataram menguasai hampir seluruh wilayah P. Jawa. Intervensi politik Belanda/VOC ke dalam kerajaan sangat kuat hingga terjadi perpecahan antar tokoh pro dan kontra kerajaan sekitar tahun 1700 M. Perselisihan internal di dalam abad 18 ini dimanfaatkan Oleh Belanda Kerajaan Mataram menerapkan politiknya dengan “VERDEEL EN HEERS = memecah dan menguasai". Belanda selalu berhasil Muncul dalam perselisihan atau pemberontakan yang dilakukan oleh para anggota keluarga Kerajaan Mataram.

Menengok sekilas sekitar peristiwa Perjanjian Gianti, tahun 1775 Belanda berhasil membela salah satu pihak dengan penandatanganan Perjanjian Gianti yang dilaksanakan antara Pangeran Mangkubumi dengan Paku Buwono III atas peperangan yang berkelanjutan dari adanya Perjanjian antara Paku Buwana II dengan Belanda dan penyerahan Pesisir Utara Jawa kepada Belanda secara tidak wajar, karena penandatanganan dilakukan pada saat 3 hari menjelang wafatnya Paku Buwana II tahun 1749.
Perjanjian ini kekuasaan kerajaan dikendalikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda dan bisa dikatakan hilangnya kedaulatan Kerajaan Mataram dan dimulainya penjajahan Belandan atas Mataram 1755 M. Inti perjanjian yang berpihak kepada VOC (Belanda) dari aspek perdagangan, kedaulatan menentukan Bupati dan hilangnya peisisir utara Jawa kepada VOC/Kumpeni. (periksa peta kekuasaan Tanah Jawa, 1757). Paku Buwana III saat itu terlalu dekat Kumpeni untuk menyingkirkan familinya sendiri (Raden Mas Said), menuai dijauhkannya Kerajaan dengan rakyatnya. Pemberontakan terjadi dimana-mana dan terjadi para pendukung kerajaan memisahkan diri atau istilah populernya “mlesit”. Disaat inilah tercecer Laskar-laskar Mataram yang kontra dengan Kerajaan menentang keberadaan Belanda memilih hidup di mana tempat yang dianggap sesuai dengan prinsip hidup “anti penjajahan”.

Di saat Pangeran Mangkubumi mendapat wilayah bagian barat Mataram berdasarkan Perjanjian Giyanti dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tetap melancarkan perlawanan terhadap penguasa Mataram bagian timur (Surakarta), Sunan Pakubuwana III. Perlawanan ini baru dapat diakhiri setelah ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Salatiga. Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, dan VOC, Kesultanan Yogyakarta,

Sejarah Perjanjian Gianti berlanjut dengan Perjanjian Salatiga tahun 1757 dan bersambung hingga pecah Perang Diponegoro atau Perang Jawa tahun 1825 s/d 1830. Lembah Merbabu menjadi basis perjuangan P. Diponegoro bersama P. Sentot Prawiro Dirdjo yang akhirnya P. Diponegoro ditipu diajak berunding tetapi justru ditangkap Belanda di Kota Magelang. Tidak lama kemudian P. Sentot Prawirodirdjo tertangkap di Lembah Merbabu. Sebagian prajurit ada yang ikut Pangeran dan sebagian lagi tinggal di Lembah Merbabu.


Testimoni adanya Kaitan dengan Kerajaan Mataram
Pada tahun 1940-an, dimasa kehidupan kakek-nenek si Penulis, hubungan baik Kerabat Posong dengan lingkungan Kerajaan tetap dipelihara dengan baik dengan melaksanakan ritual “sebo atau ngabekten” berarti menghadap raja di Kasunanan Surakarta dengan membawa hasil bumi secukupnya, berjalan kaki dari Kec. Sawangan lewat Selo (lembah antara G. Merbabu-Merapi) – Kartosuro - hingga Kota Solo (Surakarta). Namun, ritual ini tidak pernah diceriterakan asal - muasal ritual, maksud dan tujuannya serta keterkaitannya dengan Kerajaan. Ritual sebo ini tidak tercatat dan terpelihara oleh anak keturunannya, sehingga lambat laun acara tersebut tidak berlanjut pada generasi berikutnya. Bisa jadi karena dirasakan kurang manfaatnya, kurang berminat dengan ritual yang kental dengan nuansa formalitas tanpa makna, sehingga lambat laun acara “sebo” tinggal kenangan hilang ditelan masa.

Petilasan atau situs para Laskar Mataram yang diketemukan di Pekuburan Dukuh Margowangsan hanya Kyai Soro berupa Nisan Tua tidak bertuliskan apapun. Sedangkan yang lain berupa ceritera turun-temurun tanpa adanya situs berupa Nisan, Pusaka atau bentuk lainnya. Laskar-laskar tersebut adalah :
1. Kyai Soro (pendiri pedukuhan, ditemukan Nisan tidak ada tulisan)
2. Kyai Dirgo Negoro (tidak diketahui situsnya)
3. Kyai Suntiaking (tidak diketahui situsnya)
4. Kyai Margowongso (tidak diketahui situsnya)

Situs Laskar yang disemayamkan di Dukuh Posong :
Diketahui situs berupa Nisan tua, tetapi tidak diketahui namanya.

Laskar yang disemayamkan di dekat Sendang Mudal :
Diketahui situsnya berupa Nisan Besar dan sudah bertuliskan : R. Purwo Negoro.

Petilasan-petilasan tersebut diatas walaupun hanya berupa Nisan tua atau sudah tidak diketemukan situsnya, namun aura mistis di Pekuburan Dukuh Posong, Margowangsan dan Sendang Mudal masih sangat besar. Beberapa orang sering diperlihatkan penampakan aneh di tempat-tempat tersebut diatas bahkan kejadian yang fenomenal yang tidak dapat diungkap dengan nalar yang sehat, seperti halnya arak-arakan Raja yang diiringi prajurit menyusur irigasi menuju Pekuburan Sendang Mudal, Cahaya terang benderang di pekuburan Dukuh Margowangsan, Penemuan telor ayam dalam jumlah banyak di areal pekuburan Dukuh Margowangsan, Penampakan ular besar menjulur sepanjang jembatan S. Krasak, dll.

Seiring dengan perkembangan pendidikan, pemahaman keagamaan dan intelektualitas masyarakat setempat, intensitas fenomena penampakan dan kejadian di ketiga lokasi tersebut diatas semakin berkurang, namun aura mistis di ketiga Petilasan diatas tidak surut.

Laskar yang menurunkan banyak 9 orang anak keturunan adalah yang di Dukuh Posong dan kekerabatan tetap terpelihara hingga sekarang, walaupun ada beberapa anak keturunan yang belum diketemukan hingga sekarang. Penelusuran Sagotrah Posong akan diturunkan dalam tulisan tersendiri, menyusul, Insya Allah.

Adapun kerabat R. Purwonegoro juga membina kekerabatan dengan caranya sendiri, tidak terkait dengan kekerabatan Sagotrah Posong. Acara yang masih rutin dilaksanakan adalah ritual “nyadran” yang diselenggarakan setahun sekali menjelang jatuh bulan Puasa dengan cara kenduri mengirim do'a kepada arwah leluhur para pendahulu yang disemayamkan di pekuburan Sendang Mudal. Cukup banyak anak keturunan R. Purwonegoro yang datang pada ritual tersebut.

Para Laskar yang disemayamkan di pekuburan Dukuh Margowangsan sangat ironis karena pewaris Kyai Suntiaking, Kyai Soro, Kyai Dirgo Negoro dan Kyai Margowongso tidak meninggalkan bekas catatan bahkan cerita apapun kepada anak keturunannya yang disampaikan secara turun-temurun. Mereka meninggalkan kisah keunggulan masing-masing sebagai makhluk Tuhan yang perkasa, berpengaruh, sakti dan melegenda di tengah-tengah masyarakat Lembah Merbabu.


Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757.


Sumber : wikipedia.or.org (2009), Raden Ngabèhi Yasadipura, 1885-92

Referensi Pendukung :

1. W van der Molen, 1997, Twaalf eeuwen Javaanse literatuur, [Leiden].
2. PPoerbatjaraka, 1952, Kepustakaan Djawa, Amsterdam/Djakarta: Djambatan.
3. Raden Ngabèhi Yasadipura, 1885-92, Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Giyanti, Soerakarta : Toef & Kalf.
4. Radèn Ngabèhi Yasadipura, 1937-39, Babad Giyanti, Batawi-Centrum : Balai Poestaka.


CATATAN PENULIS :
• Penulis adalah asli kelahiran Dukuh Margowangsan, tahun 1959 dari Trah Posong keturunan ke-4, mengumpulkan literature dan informasi dari para sesepuh yang masih sugeng hingga tahun 2007 – 2009 (sekarang).
• Tulisan ini merupakan langkah awal, dari program silaturahmai dan secara tulus ingin mengundang siapa pun yang masih terkait dengan Ke-laskaran yang tercecer di Lembah Merbabu untuk menulis dan memberikan komentar, informasi tambahan dan alamat kerabat yang mungkin terlewatkan.
• Salam hangat untuk anggota Trah dan pembaca siapa pun. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.


2 komentar:

  1. Yg dimakamkan di Makam dekat sendang Mudal, kalo ga salah RM Jayanegara/Joyonegoro..bukan R Purwonegoro. trims..

    BalasHapus
  2. Jangan sekali-kali melupakan sejarah..

    BalasHapus